Benang Merah & Analisa Teks Babad Jaka Tingkir

Turun Bantayan - Babad Jaka Tingkir atau Babad Pajang merupakan salah satu dari sekian banyak babad mengenai sejarah Jawa dan kebanyakan dari sekian banyak babad merupakan kitab anonim. Babad Jaka Tingkir ditulis pada hari Minggu pada bulan Sapar tanggal 22 jam 11 mangsa Katiga hitungan Jawa ditandai dengan sengkala “Sang Mahamuni Anata Goraning Rat” atau tahun Jawa 1748 juga bertepatan dengan tarikh nabi dengan sengkala “Pandhita Aguna Sinembah Ing Jagad Kabeh” atau 1237 bertepatan pula dengan tahun Masehi bulan Agustus tanggal 23 dengan sengkala “Trus Sinembah Sariraning Ratu” atau tahun 1820.
Babad Jaka Tingkir diawali dengan penciptaan langit dan bumi serta manusia sebagai penghuninya, cerita terus bersambung dengan zaman para nabi serta beberapa jaman yaitu dari jaman srikalaraja yang ditandai dengan ke-moksa-an Raja Majapahit yaitu Brawijaya V, setelah ke-moksa-an ini maka jaman berganti menjadi jaman kalawijisaya dan muncul tiga negara yaitu Benang, Giri dan Demak.

Diceritakan pula tentang Raja Bali Prabu Kalagerjita yang menyerang Jawa dengan 3 laksa pasukan kemudian muncul Sri Handayaningrat dari Pajang-Pengging yang dapat mengalahkan Prabu Kalagerjita kemudian ia melakukan penaklukkan ke seluruh nusantara. Raja Brawijaya diceritakan memiliki banyak selir dan dari selir-selir itu lahir putra-putri yang memiliki kelebihan dan kekuatan diatas kekuatan manusia biasanya.

Suatu ketika raja Pajang – Pengging Sri Handayaningrat meninggal dan meninggal dua orang putra yaitu Kebokenanga dan Kebokanigara lalu kedua anak ini diasuh oleh Brawijaya sedangkan kerajaan Pajang – Pengging diubah kedudukannya menjadi sebuah kadipaten.

Seperti diceritakan sebelumnya setelah ke-moksa-an Brawijaya V maka istrinya yaitu Ratu Andarawati atau Putri Cempa memeluk agama Islam dan ia punya putra di Ampelgading yang terkenal sebagai Sunan Ampel dan Sunan Ampel ini berputra Jeng Sunan Benang (Bonang). Ratu Andarawati tinggal di Benang bersama Kebokanigara dan Kebokenanga dan tak lama kemudian ia meninggal.

Diceritakan pada hari Senin para wali di Jawa berkumpul bersama dengan seluruh pembesar daerah untuk bermusyawarah tentang upaya mendirikan sebuah masjid, kemudian disusunlah rencana-rencana pembangunan yang terutama adalah mengenai empat saka guru (saka utama) yang dibebankan kepada sembilan orang wali kemudian tiang sejumlah 12 (saka pangendhit)yang akan diletakan diatas empat saka guru tadi akan dibebankan kepada para pangeran kemudian ada duapuluh tiang yang lain lagi yang disebut saka rawa dibebabnkan kepada para bupati dan pembesar-pembesar lain.

Pada masa Sunan Ampel ada seseorang dengan gelar Pangeran Atas-Angin dan ia adalah seorang mufti di Kaliwungu, salah satu keturunannya berkedudukan sebagai adipati di Pandanaran. Bupati Pandanaran dan adiknya ini dididik berbagai ilmu oleh Sunan Kalijaga karena diramalkan olehnya Adipati Pandanaran dan adiknya ini akan menjadi seorang waliyullah yang besar.

Setelah belajar beberapa lama kepada Sunan Kalijaga maka pada suatu malam Adipati Pandanaran, istri dan adiknya pergi meninggalkan Kadipaten Pandanaran meninggalkan keduniawian dan bermukim di Gunung Tembayat dan di tempat ini ia menetap dan bergelar Sunan Tembayat sedangkan adiknya bergelar Panembahan Kajoran.

Kembali ke kerajaan Demak bahwa sepeninggal Panembahan Bintara maka ia digantikan oleh putranya yaitu Dipati Unus atau lebih dikenal dengan gelar Pangeran Sabrang Lor namuin ia juga juga gugur di medan peperangan dan ia segera digantikan oleh Sunan Trenggana.

Diceritakan setelah sekian lama Raden Kebokanigara dan Raden Kebokenanga tinggal di Bonang maka Raden Kebokenanga dan Raden Kebokanigara pulang ke Pengging namun ia merasa kecewa terhadap Sultan Demak karena Pengging hanya dianggap sebuah kadipaten kecil, setelah tinggal di Pengging ia bergelar Kyai Ageng Pengging dan ia juga murid dari Seh Siti Jenar.

Kyai Ageng Pengging tinggal di Pengging bukan lagi sebagai seorang ningrat yang hidup bermewah-mewah namun ia malah menjadi seorang petani biasa yang menggarap sawah dan aktivitasnya sehari-hari hanyalah pergi bekerja di sawah kemudian ketika di rumah maka ia hanya berdoa kepada Tuhan.

Raja Bintara yang baru mulai resah karena Kyai Ageng Pengging tidak pernah sowan ke Demak dan karena dasar itulah maka Sultan Demak berpikiran bahwa Kyai Ageng Pengging akan membelot dari kekuasaan Demak dan merongrongnya.

Bertepatan upacara Garebeg di Demak maka ibokota Demak sangat ramai terutama di masjid agung Demak beberapa hari sesudahnya berkumpul seluruh wali dan para pembesar bermusyawarah mengenai penyebaran agama Islam. Sunan Kudus melaporkan perihal Seh Siti Jenar kepada Jeng Sunan Drajad mengenai ajarannya yang menyimpang dan dianggap akan membahayakan perkembangan agama Islam kemudian Sunan Drajad berkehendak memanggil Seh Siti Jenar untuk disidang dihadapan para wali.

Dihadapan para wali Seh Siti Jenar membeberkan ajarannya mengenai manunggaling kawula gusti dan konsep sangkan paraning dumadi, ajaran-ajaran Seh Siti Jenar itu dianggap bid’ah dan setelah melewati perdebatan panjang antara para wali dengan Seh Siti Jenar maka para wali memutuskan untuk menghukum mati Seh Siti Jenar.

Pada hari Jum’at seluruh orang berkumpul untuk menyaksikan putusan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Seh Siti Jenar dan setelah berwasiat maka Sunan Kudus segera menebas leher Seh Siti Jenar dan putuslah kepala dari lehernya namun terjadi suatu keajaiban bahwa kepala yang tergeletak itu bicara dan kembali tersambung dengan badannya kemudian tak lama tubuh Seh Siti Jenar mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan tak lama kemudian ia moksa beserta badan kasarnya.

Kematian Seh Siti Jenar segera diikuti oleh beberapa muridnya yang ikut mati meninggalkan kesengsaraan di dunia. Peristiwa hukuman mati itu terulang lagi namun kali ini para wali menghukum seorang syeh yang juga murid dari kanjeng Seh Siti Jenar dan ia bernama Syeh Malangsumirang, ia dihukum mati oleh para wali karena dianggap mengganggu ketentraman masyarakat karena ia berpura-pura gila dan mengganggu masyarakat namun setelah prosesi hukuman mati terhadapnyapun terjadi keajaiban, Seh Malangsumirang moksa bersama seluruh badannya.

Kembali kepada kisah di Demak bahwa Kyai Ageng Pengging memohon kepada Tuhan untuk diberi keturunan dan tak lama kemudian permohonannya dikabulkan oleh Tuhan lewat sebuah wangsit yang memberitahukan kepadanya bahwa ia akan mendapatkan seorang anak laki-laki yang sehat dan memiliki kesaktian luar biasa dan akan menjadi raja besar di tanah Jawa.

Benarlah kiranya wangsit itu karena tak lama kemudian Nyai Ageng Pengging hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang bertepatan dengan pertunjukan wayang beber di rumah Ki Ageng Pengging dan atas saran Ki Ageng Tingkir (Raden Kebokanigara) bayi laki-laki tersebut diberi nama Mas Karebet.

Raja Demak mengirim Kyai Ageng Wanalapa ke hadapan Kyai Ageng Pengging untuk memberi pilihan kepadanya namun Ki Ageng Pengging tidak memberi pilihan karena Ki Ageng Pengging berpendapat bahwa ia tidak pernah merasa diperintah oleh Sultan Demak karena ia mempercayai bahwa semua manusia adalah umat dari Tuhan.

Jawaban yang tegas dari Kyai Ageng Pengging ini ditafsirkan oleh Raja Demak sebagai sebuah pembangkangan terhadap kekuasaan raja dan sebagai sebuah reaksi maka Sultan Demak mengutus Sunan Kudus untuk pergi ke Pengging dan Sunan Kudus berangkat ke Pengging bersama tujuh orang santrinya dan tak lupa ia membawa serta sebuah pusaka berupa bendhe kyai macan.

Perjalanan Sunan Kudus ke Pengging melewati beberapa daerah dan atas usul dari dirinya pula ia memberi nama tempat yang ia lalui seperti ia memberi nama sebuah tempat dengan nama Sama Katingal karena banyak orang yang berdatangan melihat bungkusan pusaka yang dibawa Sunan Kudus beserta ketujuh santrinya tempat yang lain adalah sima karena pada saat rombongan Sunan Kudus melewati daerah ini pusaka kyai macan dipukul dan suaranya seperti suara harimau.

Kembali ke kadipaten Pengging diceritakan bahwa Kyai Ageng Pengging telah beberapa hari didalam sanggar pamujan memohon ke-moksa-an kepada Tuhan tak beberapa lama kemudian rombongan Sunan sampai ke Pengging dan Sunan Kudus segera meminta izin untuk menemui Kyai Ageng Pengging setelah ia bertemu maka kedua orang ini terlibat dalam sebuah perdebatan karena Sunan Kudus menginginkan kematian Ki Ageng Pengging maka Kyai Ageng Pengging menurut saja dan ia meminta menyobek siku tangannya dan setelah siku Kyai Ageng Pengging sobek maka ia segera meninggal.

Merasa tugasnya selesai ia bersama santrinya meninggalkan Pengging tak lama kadipaten Pengging kacau karena Kyai Ageng Pengging telah meninggal, Nyai Ageng Pengging sangat sedih karena ia masih putra yaitu Mas Karebet dan atas permintaan Ki Ageng Tingkir (Raden Kebokanigara) ia diminta sabar dan anaknya diminta untuk tinggal bersamanya di Tingkir dan Mas Karebet diangkat sebagai anak.

Perjalanan pulang dari Pengging Sunan Kudus beristirahat di tepi sungai dan sungai ini diberi nama Kali Pepe, setibanya di keraton Demak rombongan Sunan Kudus disambut dengan meriah bak seorang pahlawan dan Sunan Kudus mendapat ucapan selamat dari Sultan Demak.

A. Analisa Teks
Historiografi tradisional khususnya histriografi Jawa sangat menonjol unsur-unsur mitos, legenda dan magis. Dibawah ini akan kami tunjukkan beberapa contoh unsur-unsur tersebut yang terdapat dalam Babad Jaka Tingkir.

  • 1. Mitos.
  • 2. Moksa.

Moksa adalah sebuah istilah dalam ritus Hindhu yaitu suatu peristiwa kematian seseorang pergi ke alam nirwana atau kematian dengan disertai jasad kasarnya.

Moksanya Prabu Brawijaya V:

“lenyep saking manusapadeki…datan kalawan lampus, paripurna waluya jati…waskiteng sangkan paran.” (hilang dari dunia ini…tidak karena mati akan tetapi musnah bersama badannya…tahu apa yang akan terjadi).

Moksanya Seh Siti Jenar:

“punang getih mulaya sami bali kabeh lir sinerot…mring gegembungneki…nulya Seh Sunyata jati murti…nulya anglandeng cahya manginggil tan atara gaib.” (darah yang berceceran masuk kembali ke badan kemudian Seh Siti Jenar badannya mengeluarkan cahaya kemudian meninggi dan akhirnya lenyap).

Penentuan kiblat masjid Demak oleh Sunan Kalijaga:

“Jeng Susunan Kali saking ler majeng mangidul jumangkah suku sawiyos…suku tengen prapteng Makah sampun ngancik…suku kiwa kantun…asta tengen anyandhak kakbah, asta kiwa nyandhak gada mesjid kono. Tinarik kekalihipun…angaben gathuk.” (Jeng Sunan Kali dari utara menghadap ke selatan dengan kaki terbuka…kaki kanan berada di makkah…kaki kiri tertinggal… tangan kanan menarik kakbah, tangan kiri memegang puncak masjid Demak. Keduanya ditarik…supaya menjadi sama.)

Wangsit yang didapat oleh Kyai Ageng Pengging yang memohon untuk diberi keturunan:

“…tan adanya antarane…saking aib swara dumeling…sira bakal andawe atmaja urip…dadya pangeraning wong akeh tegese dadi ratu.” (…tanpa tahu darimana asalnya…sebuah suara gaib berkata….kamu akan memiliki seorang anak…yang akan menjadi teladan orang banyak atau menjadi ratu).

Legenda

Desa Samakatingal yang diberi nama oleh Sunan Kudus sewaktu perjalanan ke Pengging, diberi nama desa Samakatingal karena waktu itu banyak orang yang datang melihat pusaka yang dibawa Sunan Kudus:
“…desa iki paman sun paringi jejuluk pan iya samakatingal, dene sun akeh ningali.”

Desa Sima juga diberi nama oleh Sunan Kudus karena saat melewati desa ini pusaka yang dibawa Sunan Kudus dibunyikan dan ternyata mengeluarkan suara seperti suara macan/harimau yang membuat penduduk setempat ketakutan :
“…sedyanira angiter sima mangkin, angambang swaranipun, ing mangke datan ana.”

  • 3. Magis

Akar-mimang yaitu sejenis akar yang mendatangkan kesaktian bagi pemiliknya yang dipakai oleh Jaka Karewet (putra Brawijaya V dari seorang parara-rara) yang ketika dipakainya ia dapat menghilang dan ia dapat mengembara ke seluruh Majapahit hingga pada akhirnya ia tertangkap basah oleh Brawijaya sendiri.

Bendhe Kyai Macan yaitu pusaka berupa sebuah gamelan menyerupai gong yang dibawa Sunan Kudus ke Pengging, bendhe ini jika dibunyikan akan mengeluarkan suara seperti suara macan/harimau. Konon pusaka bendhe Kyai Macan ini adalah pusaka peninggalan dari Adipati Terung.

Unsur-unsur historis dalam Babad Jaka Tingkir

Pada babad pajang pajang ini dapat dikatakan bahwa tidak semua isinya berupa mitos atau legenda saja melainkan juga terdapat unsur-unsur historis yang ada didalamnya.

Wilayah Pajang ialah salah satu “tanah mahkota” kerajaan Majapahit pda abad-14 dan raja Hayam Wuruk sendiri paling sedikit pernah melakukan perjalanan tahunan ke wilayah Pajang.

Pemerintahan Sultan Pajang pada paruh kedua abad ke-16 oleh pujangga keraton Mataram seabad kemudian menjadi prolog kekuasaan dinasti-dinasti Mataram atas hampir seluruh Jawa.

Keturunan sultan Pajang berasal dari Pengging yang dalam babad ini disebutkan bernama Andayaningrat  yang konon ia masih kerabat dari keluarga raja Majapahit. Sri Andayaningrat menikah dengan Ratu Pembayun (putri dari Brawijaya V, dari putri ini ia mendapat dua orang putra yaitu kebo kanigara dan kebo kenanga) hal tersebut dilakukan karena Andayaningrat dinilai telah berjasa kepada Majapahit yaitu dengan melakukan penaklukkan Blambangan dan Bali. Ia mendapat kemenangan itu dengan bantuan masyarakat bajul (buaya).

Bahan pembanding dalam menganalisa babad Jaka Tingkir ini adalah Babad Tanah Jawi yang didalamnya disebutkan bahwa kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan yang dilakukan Sunan Kudus.

Penguasa Demak pada Babad Jaka Tingkir ini mencurigai penguasa Pengging (saat itu Pengging diperintah oleh Kebo Kenanga sebagai pengganti Andayaningrat) selain kecurigaan itu juga penguasa Pengging saat itu merupakan murid dari “guru bid’ah Islam” di tanah Jawa yaitu Syeh Siti Jenar.

Tindakan kekerasan dari sunan Kudus terhadap pengikut “bid’ah” Syeh Siti Jenar dapat dilihat sebagai upaya mempertegas legitimasi kekuasaan penguasa Demak serta meng-eliminir pengaruh Syeh Siti Jenar yang dianggap “meresahkan” masyarakat.

Babad Jaka Tingkir sebagaimana babad-babad yang lain juga penuh dengan mitos dan legenda namun juga dapat dilihat unsur-unsur historis yang menyertainya, hal ini sesuai dengan fungsi penulisan babad itu sebagai pelegitimasian status quo atau dinasti yang tengah berkuasa pada saat itu.

Daftar pustaka

Anonim. Babad Jaka Tingkir. Jakarta: Depdikbud, 1985.

H.J. De Graaf, Th. Pigeaud. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafiti Press. 1989.

0 Response to "Benang Merah & Analisa Teks Babad Jaka Tingkir "

Posting Komentar

Selamat datang dan Semoga bermanfaat !!!