CERITA : Kisah Perjalanan Hidup KH Sholeh Qosim dalam Berdakwah

KH Sholeh Qosim merupakan Pengasuh Ponpes Bahauddin Sepanjang, Sidoarjo. KH Sholeh Qosim wafat saat sujud shalat maghrib. Kiai yang lahir pada 1930 ini adalah salah seorang pejuang kemerdekaan NKRI.

Pengasuh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Islami, Sidoarjo itu ikut mengangkat senjata menjadi anggota laskar Hizbullah tahun 1943 pimpinan KH Masykur dalam perang merebut kemerdekaan.

Kyai Qosim sebelum wafat masih aktif berdakwah. Sesepuh NU Sidoarjo ini masih sering berceramah dalam berbagai pengajian dengan bahasa Jawa halus maupun bahasa Indonesia. Suaranya masih begitu jelas dan tegas. Bahkan terkait Laskar Hizbullah, Kiai Qosim masih hafal mars laskar tersebut, . Mars yang dapat membangkitkan semangat juang pasukan Barisan Hizbullah dan Laskar Sabilillah di jaman revolusi kemerdekaan.

Yaa lal wathon, yaa lal wathon
hubbul wathon minal iiman
walaa takun minal hirman
inhadlu ‘alal wathon
Indonesia biladi
anta ‘unwanul fakhoma
kullu mayya’tika yauma
thomihayyalqo himama”.

Tak bisa dipungkiri, Barisan Hizbullah dan Laskar Sabilillah adalah milisi santri yang begitu hebat. Sangat ditakuti Belanda dan Jepang karena keberaniannya. Keberanian yang dilambari dengan hasil tirakat dibawah bimbingan para ulama auliya.  KH. Sholeh Qosim adalah salah-satu dari semakin sedikitnya ulama sepuh pejuang NKRI.  Semoga diampuni segala dosa dan mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin. Allahummaghfirlu warhamhu waafihi wa’fuanhu. Al fatihah.

Amalan Kyai Sholeh Qosim

Kyai Sholeh memaparkan, bahwa Nabi Muhammad SAW kalau bersedekah diberikan menjelang Ramadhan. Karena menyedekahkan menjelang Ramadhan lebih bermanfaat.

“Budaya Nabi Muhammad SAW menyambut bulan Suci Ramadhan, disamping berpuasa Sya’ban, silaturahmi dan bersedekah, Nabi selalu membebaskan orang yang mempunyai hutang. Sehingga ketika orang tersebut menjalankan ibadah puasa Ramadhan, tidak terganggu, bisa kosentrasi dan khusyuk,” ujar beliau.

Dengan menyedekahkan makanan, pakaian yang diberikan menjelang Ramadhan, kata Kiai Sholeh, fadhilahnya 700 lipat. Yang lebih penting lagi, datang ke guru dan ulama meminta doa supaya lebih mantap dan berkah. Nilainya sangat positif, dan harus dibudayakan lagi.

“Sehingga rukun Islam yang ke 4 itu menjadi fokus ketika orang melakukan ibadah. Berbeda kalau diberikan menjelang Idul Fitri. Sebab kalau diberikan sebelum Ramadhan, pahalanya 700 tingkat, sedangkan setelah Ramadhan pahalanya 1 derajat/tingkat,” tegasnya.

Dalam taushiyahnya di acara peringatan Harlah NU ke-93 di Surabaya, Kiai Sholeh menceritakan, ulama-ulama pesantren pada jaman itu adalah manusia-manusia luar biasa dalam soal ke’aliman dan karomahnya. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Syaikhona Kholil, dan banyak lagi ulama yang beliau sebut adalah sosok dengan maqom derajat yang tinggi.

“Para kiai pesantren berinisiatif mendirikan NU dan berkiprah besar untuk kemerdekaan RI. Mereka adalah min auliyaa-illah, kesayangan Allah. Jika ada yang macam-macam dengan NU dan Indonesia, Gusti Allah tentu tidak akan membiarkannya”, tegas Kiai Sholeh, Wakil Rois Syuriah PWNU Jatim kala itu. Ingatan beliau dan intonasi-aksentuasi suara beliau yang begitu bernas melafalkan ayat Qur-an, hadits Rosulillah, atsar para Sahabat, dan qoul ulama salaf, tentang arti pentingnya berjuang untuk agama dan negara, membuat kagum mengingat usia beliau yang sudah sangat sepuh.

Mendengar cerita Kiai Sholeh Qosim tentang ulama jaman dahulu kala, setidaknya bisa melahirkan keteladanan akan tiga hal, tawadhu dalam sikap, tekun dalam ibadah dan riyadhoh, serta teguh dalam memperjuangkan hal yang benar menurut Allah, Rasulullah dan para ulama.

Pertama, Tawadhu Dalam Sikap. Bersikap rendah hati adalah salah satu prilaku kesatria yang tinggi tingkatannya. Kesombongan hanya akan menjerumuskan kaum santri ke lembah yang nista dalam hidup di dunia dan akhirat. Sebuah mahfuzhot yang sangat populer di kalangan Nahdliyin : “laa tahtaqir man duunaka falikulli syai-in maziyah”, jangan hanya dijadikan pemanis lisan ketika berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya. Sikap meremehkan orang lain bukanlah sikap yang menjadi fitrah bagi kaum Nahdliyin.

Kedua, Tekun Dalam Riyadhoh. Sementara tekun dalam hal ibadah dan riyadhoh adalah sebuah keniscayaan bagi seorang mukmin. Teringat akan sebuah maqolah : “i’mal lii akhiirotika ka-annaka tamuutu ghodaa”. Dalam soal ukhrowi dan ibadah mahdhoh karena ridho Allah, hendaknya ditumbuhkan sikap rakus dan merasa kurang dalam tiap amalan-amalannya, karena ajal senantiasa mengintai kita. Para ulama mengajarkan hal itu kepada santri-santrinya untuk membiasakan riyadhoh dalam melatih jiwa dan meraih ridho Allah. Cerminan itu ada dalam hidup kiai-kiai khos akan pentingnya munajat melibatkan Allah dalam tiap keputusan menjalani kehidupan.

Ketiga, Teguh Dalam Mujahadah. “Man saaro ‘alad darbi washoola”. Berketetapan teguh dalam mengamalkan kebajikan, akan menghantarkan kepada tujuan yang baik pula. Para sesepuh, alias founding father bangsa Indonesia dan Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Nusantara waktu lampau, telah mencontohkan itu semua. Pengajaran keteladanan itu jelas mengalahkan kalimat-kalimat sakti para Inspirator dan Motivator jaman sekarang. Teladan dari tetua, yaitu para auliya dan ulama kuno, hendaknya mengilhami kita banyak-banyak soal keikhlasan berjuang di jalan Allah. Tidakkah kita menyadari, nikmatnya beragama dan berbangsa yang sekarang kita rasakan, adalah buah dari keberhasilan mujahadah mereka di waktu lampau.

Banyak kenangan dari Kiai Qosim yang bisa diambil sebagai pelajaran hidup. Saat peringatan HUT ke-72 TNI 5 Oktober 2017 lalu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta Presiden Joko Widodo untuk menyerahkan tumpeng kepada tiga orang terpilih. Mereka adalah Paimin (yang sudah berusia 92 tahun), Kiai Sholeh Qosim. Keduanya adalah pejuang bersenjata di masa lalu, dan terakhir Pangkostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi, sebagai wakil TNI masa kini.

Diketahui, sesepuh NU Sidoarjo tersebut datang ke peringatan HUT TNI ke-72 di Cilegon, Banten, atas undangan Gatot Nurmantyo.

“Saya ditelepon Pak Gatot Nurmantyo untuk datang ke dalam perayaan HUT TNI. Panglima bilang, saya harus hadir di Cilegon pada tanggal 5 Oktober. Nanti akan ada orang yang menjemput. Semua sudah dipersiapkan,” cerita pria yang lahir di Sidoarjo tahun 1930 ini.

Kehadiran Kiai Qosim waktu itu sempat membuat publik kaget. Pasalnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberi potongan tumpeng langsung menyalami Kiai Qosim dan dengan takzim mencium tangan beliau. Kejadian itu pun menjadi viral di dunia maya.

“Saya ditelepon Imam Nachrowi. Dia cerita, ditanya banyak orang setelah acara itu (HUT ke-72 TNI). Dia tanya, kok bisa sampai begitu. Ya, saya jawab, tidak tahu. Saya cuma diundang saja,” kata Kiai Qosim saat itu kepada redaksi di kediamannya.

Saat itu kedekatan Kiai Qosim dengan Jenderal Gatot sempat menjadi tanda tanya. Rupanya Jenderal Gatot tidak hanya mengenal Kiai Qosim sebagai anggota laskar Sabilillah di era kemerdekaan, namun Kiai Qosim pernah dua kali dilibatkan Jenderal Gatot untuk menyelesaikan urusan bangsa.

Semasa hidup, Kiai Qosim memang enggan menceritakan “urusan bangsa” yang dimaksud. Maklum beliau sangat ingin menjauhi sifat-sifat riya’.

Kiai Qosim juga mewanti-wanti redaksi agar tidak menceritakan dua “urusan bangsa” itu selama beliau masih hidup. Bahkan beliau menyarankan agar menanyakan langsung ke Jenderal Gatot perihal tersebut. “Alangkah baiknya beliau (Panglima TNI) yang cerita. Itu bukan ranah saya menjawabnya,” jelas sang kiai.

Namun setelah beliau wafat, redaksi merasa perlu untuk mengabarkan dua “urusan bangsa” yang sangat penting tersebut sebagai pengingat bagi rakyat Indonesia.

Ada dua urusan antara Kiai Qosim dan Jenderal Gatot di mana hal itu menjadi penentu arah perdamaian dan persatuan bangsa.

Pertama, kasus intoleran pembakaran masjid di Tolikara, Papua pada 2015 lalu. Kasus ini berpotensi memecah belah umat. Saat itu Jenderal Gatot meminta kepada Kiai Qosim untuk menjadi penengah antara komunitas Muslim dan komunitas Nasrani di Tolikara. Peran Kiai Qosim dalam perdamaian umat beragama di Tolikara sangat vital. Namun beliau menolak disebut perdamaian itu atas jasanya, melainkan semua pihak turut berperan dalam menjaga perdamaian Tolikara. “Saya cuma penengah saja,” kata Kiai Qosim kepada redaksi yang kemudian mewanti-wanti untuk tidak menceritakan kepada publik.

Dalam perdamaian di Tolikara menghasilkan kesepakatan yang dilakukan penyelesaian secara adat. Ada tiga butir kesepakatan yang dihasilkan. Selain penyelesaian masalah secara adat, kesepakatan lainnya, memberikan kebebasan beribadah kepada umat Islam Tolikara, termasuk proses pembangunan masjidnya.
Semua pihak siap menjaga kondisi kehidupan yang harmonis, penuh persaudaraan dan toleransi.

Pasca Tolikara, Jenderal Gatot kembali menghubungi Kiai Qosim. Sejumlah ulama se-Indonesia diundang berkumpul ke Linggarjati, Jawa Barat.

Seperti diketahui Islam yang terus berubah seiiring dengan kemajuan jaman. Pondasi Islam memang sudah kokoh, namun sengkarut di Islam masih kerap terjadi. Sementara itu, gerakan-gerakan revivalisme Islam mulai tumbuh dan langsung mengambil jalur politik-kekuasaan. Polarisasi dalam Islam tidak dapat dihindari lagi, yang berpotensi memecah belah umat Islam. Sehingga butuh gagasan dan ide untuk kembali mempekokoh umat. Di sinilah para ulama berkumpul untuk menentukan arah bangsa ini.

Satu persatu ulama menyampaikan ide dan gagasannya. Namun ketika sampai pada Kiai Qosim, beliau cukup simpel menyampaikan gagasannya. Di hadapan para ulama dan Jenderal Gatot, Kiai Qosim mengungkap konsep Islam Nusantara.

“Saya cuma bilang, sebelum Islam masuk, kita adalah Nusantara. Para wali sebelumnya syiar Islam ke seluruh penjuru Nusantara dengan ciri khas persentuhan, perpaduan dari ajaran, perilaku, budaya dan citarasa masing-masing daerah. Kenapa kita tidak menggunakan konsep Islam Nusantara,” ujar Kiai Qosim.

Konsep dan gagasan Kiai Qosim soal Islam Nusantara ini kemudian diterima oleh para ulama. Bahwa konsep tersebut merupakan yang ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan ‘Islam Arab’.

Istilah Islam Nusantara belakangan gencar dikampanyekan oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Bahkan ulama dari 33 negara yang menjadi peserta International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) menyatakan akan mengembangkan Islam moderat ala Islam Nusantara di negara masing-masing.

Bahkan almarhum Kiai Hasyim Muzadi, sesepuh NU yang saat itu menjabat sebagai Presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) sekaligus Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars) berpidato di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang konsep Islam Nusantara. Secara cerdas Hasyim Muzadi menjawab sejumlah tuduhan PBB bahwa umat Islam Indonesia anti toleransi beragama. Pidato Hasyim Muzadi soal Islam Nusantara itu ‘menggetarkan’ negara-negara di seluruh dunia.

Tidak ketinggalan Presiden Jokowi menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara. Hal itu disampaikan dalam pidatonya saat membuka Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal.

“Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi,” kata Presiden Jokowi.

Itulah sekelumit perjuangan Kiai Qosim yang membuatnya diakui oleh banyak orang. Meski beliau telah wafat, namun pemikirannya soal Islam Nusantara dibutuhkan masyarakat dunia karena ciri khasnya mengedepankan “jalan tengah”, bersifat tawasut (moderat), tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik.

Berikut beberapa poto untuk mengenang jasa beliau:





0 Response to "CERITA : Kisah Perjalanan Hidup KH Sholeh Qosim dalam Berdakwah"

Posting Komentar

Selamat datang dan Semoga bermanfaat !!!