Warga yang hadir dari beberapa Kabuyutan itupun juga dari situs-situs budaya di Kabupaten Ciamis, mengikuti prosesi Kirab Pusaka Galuh dan tradisi Jamasan di Situs Makam Jambansari, Minggu (10/12/2017) yang acaranya dimulai mulai tanggal 9 desember kemarin.
Prosesi kirab pusaka diawali dengan mengeluarkan pusaka peninggalan sejarah Galuh dari Museum Galuh Pakuan. Kemudian diarak dari Museum Galuh Pakuan menuju Situs Jambansari atau makam Bupati Galuh RAA Kusumadiningrat.
Di lokasi situs kemudian benda pusaka dibawa ke lokasi makam lalu melaksanakan tawasulan. Benda pusaka kemudian dibawa kembali keluar dan dilaksanakan Jamasan atau membersihkan benda pusaka.
Tujuan dari Kirab Pusaka Galuh ini untuk menyosialisasikan kepada masyarakat luas agar mengetahui peninggalan-penginggalan sejarah galuh. Ini sebagai bentuk untuk melestarikan dan memelihara peninggalan karuhun budaya galuh. " Jamasan Pusaka Galuh, Simbol Bersih Jiwa: 7 Pusaka, 7 Mata Air, dan Kembang 7 Rupa".
“Kirab pusaka galuh ini dilaksanakan secara rutin satu tahun sekali,” ujar Ketua Panitia Kirab Pusaka Galuh, R Hanif Radinal.
Sementara prosesi jamasan sendiri, diawali dengan petugas Jamsan membuka bungkus atau serangka tiap benda pusaka kemudian dimasukan kedalam air yang sebelumnya sudah disediakan didalam sebuah wadah khusus yang terbuat dari kayu, air tersebut diperoleh dari tujuh mata air antara lain Jambansari, Karangkamulyan, Imbanagara, Cimaragas, Nagaratengah, Cineam dan Tasikmalaya.
Air tersebut juga ditaburi tujuh jenis bunga. Setelah siap, kemudian pusaka tersebut dimasukan kedalam air lalu digosok menggunakan jeruk nipis dan dikeringkan menggunakan lap kering, lalu diberi minyak wangi dan dimasukan kembali ke serangka.
Prosesi tersebut semata-mata untuk menjaga kondisi benda pusaka yang sudah berumur ratusan tahun itu agar tidak rusak dimakan usia.
“Jamasan ini tujuannya untuk merumat (merawat), menjaga benda pusaka bersejarah ini supaya tidak rusak dan hilang dimakan zaman. Intinya kegiatan ini untuk melestarikan peninggalan zaman dulu karena dari benda pusaka ini menyimpan sejarah dan kebanggaan warga tatar galuh. Jadi anak cucu kita nanti masih bisa mengetahui sejarah kerajaan galuh,” katanya.
Selain merawat benda pusaka, tradisi yang dilaksanakan selama bertahun-tahun ini dilaksanakan setiap bulan maulid nabi karena memiliki filosifi untuk membersihkan diri, yakni dengan berdoa dan mendekatkan diri dengan sang pencipta, sekaligus memperingati Maulid Nabi.
“Benda pusaka ini berasal dari para keturunan yang sengaja disimpan disini, kegiatan ini juga sekaligus untuk mempererat tali silaturahmi antar keturunan Kerjaan galuh dan masyarakat, semua hadir disini,” katanya.
Sementara Bupati Ciamis, Drs H. Iing Syam Arifin mengatakan, tradisi Jamasan sebagai perwujudan dan kepedulian kepada para leluhur yang telah mewariskan kepada generasi sekarang untuk dibangun dan ditingkatkan.
“Ciamis ini daerah yang memiliki banyak sejarah dan peninggalan yang masih ada dan lestari. Ini satu aset yang harus dijaga dan menjadi tanggung jawab bersama,” jelasnya.
Ciamis, lanjut Iing, tentunya masih memiliki potensi yang akan dikembangkan dari segi pariwisata budaya dan wisata religi serta wisata ziarah.
“Tentu kita akan kembangkan, Ciamis ini sangat berpotensi. Kirab pusaka ini sangat bagus agar masyarakat tahu. Pendopo Bupati bisa digunakan untuk kegiatan kirab pusaka ini," pungkasnya.
Acara Pertama
Selebihnya dalam acara ini Tujuh mata air itu dari Cikahuripan Situs Karangkamulyan, kabuyutan Cikawali (Astana Gede), kabuyutan Galuh Ciputrapinggan Pangandaran, kabuyutan Galuh Salawe Cimaragas, kabuyutan Galuh Garatengah Cineam, kabuyutan Imbanagara, dan kabuyutan Cibatu (Jambansari).
Sumber mata air ini merupakan bagian perjalanan sejarah Kerajaan Galuh. Mulai dari Galuh Purba (Karangkamulyan), Galuh Kawali (Galuh abad ke-13), hingga Galuh era penjajahan Belanda (Gara Tengah, Imbanagara dan terakhir Jambansari). Kemudian air dari tujuh matar air itu dicurahkan dalam wadah berwarna keemasan yang di dalamnya sudah ada kembang tujuh rupa.
Wadah-wadah itu ditata bederet tujuh buah kelapa muda (dawegan), tersusun rapi di ujung tangga. Satu per satu pula, tujuh benda pusaka peninggalan RAA Kusumadiningrat, Bupati Galuh ke-16 (1839-1886) yang popular dipanggil Kanjeng Prebu, dikeluarkan dari sarungnya. Dimandikan, dicuci dengan air dari tujuh mata air yang sudah dicampur dengan kembang tujuh rupa itu.
Diawali dengan keris kuno si betok, kemudian dua tumbak, satu pedang, satu cis (tongkat), trisula, dan satu keris komando.
Dari sekitar 150 pucuk benda pusaka peninggalan RAA Kusumadiningrat yang tersimpan di Museum Galuh Pakuan (museum yang didirikan di atas lahan bekas Keratong Selagangga) hanya tujuh benda pusaka yang dicuci pada rituan jamasan pusaka Galuh, Minggu (10/12/2017) siang.
Menurut Rd Hanif, yang juga keturunan langsung RAA Kusumadiningrat tersebut, dalam sambutannya, jamasan secara harfiah berarti membersihkan, memandikan atau mencuci (ngumbah).
Namun makna yang terkandung dari ritual adat jamasan pusaka Galuh ini katanya adalah membersihkan jiwa dari hal-hal yang mengotori hati. Dengan senantiasa berbuat baik agar jaya di buana. “Seperti yang termaktub dalam prasasti Kawali I,” ujar Rd Hanif. Menurut R Ruyat Sudrajat, Direktur Museum Galuh, dari 150 jenis benda pusaka peninggalan RAA Kusumadiningrat, hanya tujuh jenis pusaka yang dibersihkan dalam ritual jamasan Minggu (10/12/2017).
Dan dari tujuh benda pusaka inti tersebut, tentu trisula yang menjadi fenomenal. Mengingat benda tersebut diyakini tidak ada di tempat lain.
Beda halnya dengan keris, tumbak maupun cis (tongkat). Trisula peninggalan RAA Kusumadiningrat tersebut katanya diduga dibuat pada abad ke-9. Terbuat dari bahan logam dan kayu.
Di gagang (tangkainya) tercantum aksara Sunda Kuno yang belum bisa didiskripsikan, dan ada cap setempel bergambar penunggang kuda. Beda dengan trisula umumnya, yakni berupa tiga besi runcing.
Namun trisula peninggalan Kanjeng Prebu tersebut berupa keris ditengah dan dua besi runcing yang mengapitnya. Juga ada besi runcing di sisi seperti taji.
“Trisula ini ada tajinya, jangan-jangan ini trisula peninggalan Ciwung Wanara (Kerajaan Galuh abad ke-8),” ujar R Ruyat.
Doa dan Tawasulan
Prosesi Jamasan Pusaka Galuh yang rutin dilaksanakan setiap bulan maulud dan yang berlangsung pada Minggu kemarin diawali kirab benda pusaka dari Museum Galuh Pakuan di eks Keraton Selagangga, Jl KH A Dahlan Ciamis.
Paling depan rombongan penabuh rebana (genjring), disusul regu pembawa pelakat bendera kebesaran Galuh Jambansari, kemudian tujuh petugas pembawa tujuh benda puasa yang akan dijamas (dicuci).
Demikianlah sekilas info mengenai acara jamasan pusaka galuh yang penulis rangkum kedalam Acara Jamasan Pusaka Galuh Jambansari Tanggal 9 Hingga 10 Desember 2017.
Prosesi kirab pusaka diawali dengan mengeluarkan pusaka peninggalan sejarah Galuh dari Museum Galuh Pakuan. Kemudian diarak dari Museum Galuh Pakuan menuju Situs Jambansari atau makam Bupati Galuh RAA Kusumadiningrat.
Di lokasi situs kemudian benda pusaka dibawa ke lokasi makam lalu melaksanakan tawasulan. Benda pusaka kemudian dibawa kembali keluar dan dilaksanakan Jamasan atau membersihkan benda pusaka.
Tujuan dari Kirab Pusaka Galuh ini untuk menyosialisasikan kepada masyarakat luas agar mengetahui peninggalan-penginggalan sejarah galuh. Ini sebagai bentuk untuk melestarikan dan memelihara peninggalan karuhun budaya galuh. " Jamasan Pusaka Galuh, Simbol Bersih Jiwa: 7 Pusaka, 7 Mata Air, dan Kembang 7 Rupa".
“Kirab pusaka galuh ini dilaksanakan secara rutin satu tahun sekali,” ujar Ketua Panitia Kirab Pusaka Galuh, R Hanif Radinal.
Sementara prosesi jamasan sendiri, diawali dengan petugas Jamsan membuka bungkus atau serangka tiap benda pusaka kemudian dimasukan kedalam air yang sebelumnya sudah disediakan didalam sebuah wadah khusus yang terbuat dari kayu, air tersebut diperoleh dari tujuh mata air antara lain Jambansari, Karangkamulyan, Imbanagara, Cimaragas, Nagaratengah, Cineam dan Tasikmalaya.
Air tersebut juga ditaburi tujuh jenis bunga. Setelah siap, kemudian pusaka tersebut dimasukan kedalam air lalu digosok menggunakan jeruk nipis dan dikeringkan menggunakan lap kering, lalu diberi minyak wangi dan dimasukan kembali ke serangka.
Prosesi tersebut semata-mata untuk menjaga kondisi benda pusaka yang sudah berumur ratusan tahun itu agar tidak rusak dimakan usia.
“Jamasan ini tujuannya untuk merumat (merawat), menjaga benda pusaka bersejarah ini supaya tidak rusak dan hilang dimakan zaman. Intinya kegiatan ini untuk melestarikan peninggalan zaman dulu karena dari benda pusaka ini menyimpan sejarah dan kebanggaan warga tatar galuh. Jadi anak cucu kita nanti masih bisa mengetahui sejarah kerajaan galuh,” katanya.
Selain merawat benda pusaka, tradisi yang dilaksanakan selama bertahun-tahun ini dilaksanakan setiap bulan maulid nabi karena memiliki filosifi untuk membersihkan diri, yakni dengan berdoa dan mendekatkan diri dengan sang pencipta, sekaligus memperingati Maulid Nabi.
“Benda pusaka ini berasal dari para keturunan yang sengaja disimpan disini, kegiatan ini juga sekaligus untuk mempererat tali silaturahmi antar keturunan Kerjaan galuh dan masyarakat, semua hadir disini,” katanya.
Sementara Bupati Ciamis, Drs H. Iing Syam Arifin mengatakan, tradisi Jamasan sebagai perwujudan dan kepedulian kepada para leluhur yang telah mewariskan kepada generasi sekarang untuk dibangun dan ditingkatkan.
“Ciamis ini daerah yang memiliki banyak sejarah dan peninggalan yang masih ada dan lestari. Ini satu aset yang harus dijaga dan menjadi tanggung jawab bersama,” jelasnya.
Ciamis, lanjut Iing, tentunya masih memiliki potensi yang akan dikembangkan dari segi pariwisata budaya dan wisata religi serta wisata ziarah.
“Tentu kita akan kembangkan, Ciamis ini sangat berpotensi. Kirab pusaka ini sangat bagus agar masyarakat tahu. Pendopo Bupati bisa digunakan untuk kegiatan kirab pusaka ini," pungkasnya.
Acara Pertama
Selebihnya dalam acara ini Tujuh mata air itu dari Cikahuripan Situs Karangkamulyan, kabuyutan Cikawali (Astana Gede), kabuyutan Galuh Ciputrapinggan Pangandaran, kabuyutan Galuh Salawe Cimaragas, kabuyutan Galuh Garatengah Cineam, kabuyutan Imbanagara, dan kabuyutan Cibatu (Jambansari).
Sumber mata air ini merupakan bagian perjalanan sejarah Kerajaan Galuh. Mulai dari Galuh Purba (Karangkamulyan), Galuh Kawali (Galuh abad ke-13), hingga Galuh era penjajahan Belanda (Gara Tengah, Imbanagara dan terakhir Jambansari). Kemudian air dari tujuh matar air itu dicurahkan dalam wadah berwarna keemasan yang di dalamnya sudah ada kembang tujuh rupa.
Wadah-wadah itu ditata bederet tujuh buah kelapa muda (dawegan), tersusun rapi di ujung tangga. Satu per satu pula, tujuh benda pusaka peninggalan RAA Kusumadiningrat, Bupati Galuh ke-16 (1839-1886) yang popular dipanggil Kanjeng Prebu, dikeluarkan dari sarungnya. Dimandikan, dicuci dengan air dari tujuh mata air yang sudah dicampur dengan kembang tujuh rupa itu.
Diawali dengan keris kuno si betok, kemudian dua tumbak, satu pedang, satu cis (tongkat), trisula, dan satu keris komando.
Dari sekitar 150 pucuk benda pusaka peninggalan RAA Kusumadiningrat yang tersimpan di Museum Galuh Pakuan (museum yang didirikan di atas lahan bekas Keratong Selagangga) hanya tujuh benda pusaka yang dicuci pada rituan jamasan pusaka Galuh, Minggu (10/12/2017) siang.
Menurut Rd Hanif, yang juga keturunan langsung RAA Kusumadiningrat tersebut, dalam sambutannya, jamasan secara harfiah berarti membersihkan, memandikan atau mencuci (ngumbah).
Namun makna yang terkandung dari ritual adat jamasan pusaka Galuh ini katanya adalah membersihkan jiwa dari hal-hal yang mengotori hati. Dengan senantiasa berbuat baik agar jaya di buana. “Seperti yang termaktub dalam prasasti Kawali I,” ujar Rd Hanif. Menurut R Ruyat Sudrajat, Direktur Museum Galuh, dari 150 jenis benda pusaka peninggalan RAA Kusumadiningrat, hanya tujuh jenis pusaka yang dibersihkan dalam ritual jamasan Minggu (10/12/2017).
Dan dari tujuh benda pusaka inti tersebut, tentu trisula yang menjadi fenomenal. Mengingat benda tersebut diyakini tidak ada di tempat lain.
Beda halnya dengan keris, tumbak maupun cis (tongkat). Trisula peninggalan RAA Kusumadiningrat tersebut katanya diduga dibuat pada abad ke-9. Terbuat dari bahan logam dan kayu.
Di gagang (tangkainya) tercantum aksara Sunda Kuno yang belum bisa didiskripsikan, dan ada cap setempel bergambar penunggang kuda. Beda dengan trisula umumnya, yakni berupa tiga besi runcing.
Namun trisula peninggalan Kanjeng Prebu tersebut berupa keris ditengah dan dua besi runcing yang mengapitnya. Juga ada besi runcing di sisi seperti taji.
“Trisula ini ada tajinya, jangan-jangan ini trisula peninggalan Ciwung Wanara (Kerajaan Galuh abad ke-8),” ujar R Ruyat.
Doa dan Tawasulan
Prosesi Jamasan Pusaka Galuh yang rutin dilaksanakan setiap bulan maulud dan yang berlangsung pada Minggu kemarin diawali kirab benda pusaka dari Museum Galuh Pakuan di eks Keraton Selagangga, Jl KH A Dahlan Ciamis.
Paling depan rombongan penabuh rebana (genjring), disusul regu pembawa pelakat bendera kebesaran Galuh Jambansari, kemudian tujuh petugas pembawa tujuh benda puasa yang akan dijamas (dicuci).
Demikianlah sekilas info mengenai acara jamasan pusaka galuh yang penulis rangkum kedalam Acara Jamasan Pusaka Galuh Jambansari Tanggal 9 Hingga 10 Desember 2017.
0 Response to "Acara Jamasan Pusaka Galuh Jambansari Tanggal 9 Hingga 10 Desember 2017"
Posting Komentar
Selamat datang dan Semoga bermanfaat !!!