Sri Baduga Maharaja: Leluhur Prabu Siliwangi, Perjalanan Hidup dan Pajajaran

Diawali dengan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran beragama Islam?.Benarkah Prabu Siliwangi Ngahiyang/Moksa? Selama ini beredar kisah yang sangat meluas di masyarakat Sunda bahwa Raja Pajajaran tetap beragama Budha/Hindu sampai "ngahiyang" atau moksa. Raja Siliwangi memilih ngahiyang daripada masuk Islam yang "dipaksakan" anaknya Rarkyan/Rakyan/Kian Santang????
Sri Baduga Maharaja Pajajaran (Sunda-Galuh)
Kerajaan Sunda dan Pajajaran mengalami pasang surut. Selepas runtuhnya kerajaan Tarumanegara, kemudian berdiri kerajaan sunda (menggantikan kerajaan Tarumanegara) dan berdiri lagi kerajaan Galuh (memisahkan diri dari kerajaan Sunda).

Sepeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475).

Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).

Baca juga: Kian Santang dan Kian (Rakeyan) Sancang! Bagaimana dengan Sayidina Ali RA

Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.

Siapakah Prabu Siliwangi?
Sri Baduga Maharaja adalah Prabu Siliwangi (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pasundan, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata.

Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal.

Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran

Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 (Kropak= lembaran naskah pada daun lontar atau nipah, yang diberi nomor oleh meseum, misal no 630) sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup.

Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

    "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira". 
    Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi.

Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang).

Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana.

Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah).

"Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Prabu Siliwangi Beragama Islam?
Waktu mudanya Sri Baduga (Prabu Siliwangi) terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subang Larang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).

Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

Islam mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru dimulai pada abad ke-13 Masehi.

Pada tahun 1416, Laksamana Cheng Ho (Zheng He) dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Quro yang berasal dari Champa (Kamboja).

Saat armada Cheng Ho ( Zheng He) singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat.

Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang (Sub Ang Larang bernama asli Kubang Kencana Ningrum, puteri Ki Gedeng Tapa), salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja yang menganut Islam.

Namun demikian tidak diceritakan bahwa Prabu Sri Baduga Maharaja juga memeluk Islam. Hanya istrinya, Nyi Mas Subanglarang yang disebut beragama Islam. Dari istrinya inilah Prabu Siliwangi memiliki 3 orang anak; Walang Sungsang (1423), Lara Santang (1426) dan Raja Sangara (1428) -sumber: kotasubang.com.

Ketiga anaknya sejak kecil dizinkan memeluk agama Islam mengikuti ibunya. Kelak setelah dewasa, pangeran Waalngsungsang dan Lara Santang memperdalam ilmu di Cirebon dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi (Saudara Syekh Quro).

Konon, Prabu Siliwangi waktu menikah dengan Subang Larang yang Muslimah, tidak mungkin dinikahkan dengan lelaki non Muslim. Menurut Syariat Islam, laki-laki yang menikahi perempuan Muslimah harus Muslim.

Dikisahkan bahwa kepergian anak-anak Prabu Siliwangi ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu Siliwangi. Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia.

Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati.

Pada saat mereka bertiga diterima menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa, “ Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini hingga hari kemudian dengan selamat. Amin.”

Walang Sungsang (Pangeran Cakrabuana) menjadi penguasa dan pendiri Kesultanan Cirebon. Pernikahan Rara Santang dengan Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar (Mesir) melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Raja Sangara kemudian dikenal dengan nama Kian Santang.

Ketika Kesultanan Cirebon berdiri dan dipimpin cucu Maharaja Pajajaran, Prabu Siliwangi mengirim utusan yakni Tumenggung Jagabaya serta Raden Sangara, adik Walangsungsang. Oleh Sang Prabu, Walangsungsang diberi gelar Pangeran Sri Mangana sekitar tahun 1460.

Jelas, sang ayah tak keberatan dengan adanya nagari baru bernama Caruban Larang. Asal saja, Cakrabuana tetap harus mengirimkan upeti ke Pajajaran, dan tetap merupakan bawahan Galuh. Raden Sengara sendiri akhirnya tak kembali ke istana, sebaliknya ikut menetap di Caruban, dan menikah dengah Nhay Halimah asal Campa dan ikut masuk Islam.

Dengan demikian alasan bahwa Prabu Siliwangi dikejar-kejar puteranya untuk memeluk Agama Islam sangat diragukan.

Pemerintahan Sri Baduga (Siliwangi) dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Disebut secara Anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya.

Rancamaya terletak kira-kira 7 km di sebelah tenggara Kota Bogor, di mana Sri Baduga pernah membuat hutan buatan dan Telaga Renam Mahawijaya.

Konon, Prabu Siliwangi memilih moksa/ngahiyang dengan menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjadi harimau loreng.

Prabu Siliwangi dipusaran di Rancamaya, artinya prabu Siliwangi tidak Ngahiyang????

Wallahu a'lam Bishawab : Dan Allah lebih tahu atau Yang Mahatahu/Maha Mengetahui. Semoga bermanfaat.

0 Response to "Sri Baduga Maharaja: Leluhur Prabu Siliwangi, Perjalanan Hidup dan Pajajaran"

Posting Komentar

Selamat datang dan Semoga bermanfaat !!!