Kalender Julius didasarkan pada periode rata-rata matahari yang melewati titik vernal Equinox sebagai titik referensi untuk menyatakan satu kali putaran bumi mengitari matahari. Menurut perhitungan, bumi membutuhkan waktu 365 hari 5 jam 48 menit dan 49 detik atau 365,2424 hari untuk menyelesaikan putarannya mengelilingi matahari.
Jumlah hari dalam satu bulan ditentukan dengan membagi jumlah hari dalam setahun dengan 12. Jadi, jumlah hari dalam sebulan dalam kalender Julius bukanlah waktu bulan yang sebenarnya (natural), Melainkan waktu bulan artifisial.
Penggunaan bulan artifisial ini menyebabkan akumulasi selisih waktu sehingga lambat laun tanggal dalam kalender semakin tidak sesuai dengan pergantian musim. Puncaknya, pada tanggal 4 Oktober 1852 Paus Gregorius XIII mereformasi kalender Julius dengan menghilangkan 10 tanggal ke depan, sehingga esok harinya langsung menjadi tanggal 15 Oktober 1852 dengan tetap melanjutkan urutan hari (hari 5 Oktober = hari 15 Oktober).
Bab 1 : disini
Setelah itu kalender Julius/Gregorius menerapkan interkalasi satu hari pada setiap bulan Februari yang bilangan tahunnya habis dibagi 4.
Jika koreksi (penyesuaian) tidak dilakukan, sampai tahun 2000 akan terakumulasi selisih 15,6 hari yang berarti ada 15,6 hari yang lewat tanpa sunrise. Perbedaan lainnya, kalender Julius/Gregorius dimulai tahun 1 M, bukan tahun nol M, sedangkan kalender Hijriyah dimulai tahun nol H. Konsep angka nol memang berasal dari ilmuwan Muslim, walaupun baru terdefinisi kan dengan kongkrit pada masa al-Khawarizmi (780-850).
Kalender Julius/Gregorius yang dimulai tahun 1 M telah menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan di kalangan masyarakat, apakah milenium ke tiga dimulai 1 Januari 2000 atau 1 Januari 2001 (Djamaluddin 2007). Demikian juga dengan pergantian abad, apakah abad 21 berakhir pada 31 Desember 2099 atau 31 Desember 2100.
Kriteria Awal Bulan Penggunaan waktu lunasi sebagai asas penetapan kalender Hijriyah didasarkan pada Al-Quran surat Al-Baqarah 189, bahwa bulan-bulan sabit (ahillah, jamak haji) merupakan tanda-tanda waktu dan ibadah haji bagi manusia.
Pernyataan ayat tersebut dipertegas dengan ayat perintah berpuasa: FA MAN SYAHIDA MINKUM AS-SYAHRA, FALYASUMHU artinya barang siapa di antara kamu telah menyaksikan bulan, hendaklah ia berpuasa) Qs 2:185. Kata syahr disini berarti calendar month, bulan dalam pengertian kalender, bukan moon (Djamaluddin 2007) karena sebagian benda langit bulan disebut Qamar. Dalam ayat ini digunakan kata SYAHIDA, menyaksikan dengan keyakinan, bukan Ra yang berarti melihat dengan mata.
Bagaimana menyaksikan kedatangan awal bulan dijelaskan dalam beberapa hadist, misalnya: Allah telah menjadikan hilal sebagai (tanda) waktu bagi manusia, maka berpuasalah dengan melihatnya dan berbukalah dengan melihatnya (HR Imam Ahmad, ad-daruqutni dan Al-Hakim). Jadi, tanda awal bulan itu adalah hilal yang bisa dilihat setelah matahari terbenam, yang imkanur-ru'yah (yang mungkin bisa diru'yat) yang disebut juga expected lunar crescent visibility. Inilah kriteria umum awal bulan yang diterima secara luas oleh masyarakat.
Semoga bermanfaat.
0 Response to "Mengenal Sejarah Waktu, Hari, Tanggal (BAB 2)"
Posting Komentar
Selamat datang dan Semoga bermanfaat !!!