Pada jaman Sultan Al Rasyid (786-809) kota Baghdad
termasyhur sebagai pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan sejak dari Masyrik
hingga ke Maghrib. Pada waktu itu sudah banyak perahu dagang dari orang-orang
Jawa yang sampai ke Teluk Persia. Tatkala dalam tahun 1258 M. Baghdad jatuh ke
tangan tentara Tartar dari Mongol, maka jalan perdagangan pun pindah dari
Baghdad ke Gujarat sampai ke Babel Mandep (Teluk Aden).
“Pada masa itu Gujarat di bawah kekuasaan raja Islam yang
berkebangsaan Turki serta berkedudukan di Delhi, yang terkenal dengan nama:
Sultan Nasaruddin (1246-1266 M)”.
Dengan demikian maka pada jaman Prabu Sindok (929-949 M),
sudah banyak pula sudagar dari tanah Jawa yang berlayar hingga ke Baghdad.
Rupanya hubungan dagang antara bangsa Indonesia dengan dunia luar sudahlah
sedemikian eratnya, sehingga tidak hanya bangsa Indonesia saj ayang merantau ke
luar negeri, akan tetapi bangsa asingpun banyak juga yang mengunjungi tanah air
kita ini dengan tujuan untuk berdagang pula. Begitu pula para pedagang-pedagang
Islam dari Persia dan Gujarat pun juga sudah ada yang datang ke Indonesia.
Salah satu diantara buktinya ialah dipadatinya sebuah makam
dari salah seorang wanita Islam bernama Fatimah binti Maimun, yang wafat pada
tahun 1082 M, yang dimakamkan di Gresik. Karena itu besar dugaan kita, bahwa
pada jaman Raja Airlangga (1019-1042 M) atau setidaknya pada jaman Prabu
Jayabaya (1135-1157 M) rupanya sudah ada pedagang-pedagang Islam yang datang
mengungjungi ataupun hanya sekedar singgah di tanah Jawa.
Pada masa itu pada umumnya bangsa Indonesia, khususnya
masyarakat di tanah Jawa memeluk agama Hindu dan Buddha. Sebagaimana diketahui,
dalam agama Hindu masyarakat itu dibagainya dalam beberapa kasta, yang terkenal
dengan pembagiannya atas kasta-kasta : Brahmana, Ksatria, Waisya dan syudra.
Dimana kasta Brahmana adalah kastanya para pendeta dan pendidik, kemudia kasta
Ksatria adalah kastanya para raja dan panglima, sedangkan kasta Waisya masuk
dalam kasta sudagar dan tukang-tukang, kemudian Syudra ialah kastanya kuli-kuli
serta para hamba sahaya.
Disamping itu ada lagi golongan yang terendah yang disebut
Paria, dari bahasa tamil : Pariyan, artinya tukang tambur; yaitu golongan yang
paling bawah dalam susunan kasta Hindu.
Dan agama Hindu dinamakan juga agama Brahma. Sesudah
timbulnya agama baru yang dibawa oleh Sang Buddha Gautama. Dimana agama ini
tidak membenarkan pembagian masyarakat atas kasta-kasta. Dengan demikian maka
agama Buddha telah meniadakan kasta-kasta di dalam masyarakat.
Namun demikian, rakyat di Jawa khususnya yang ada pada
umumnya memeluk kedua agama tersebut dan masih belum puas serta kurang terasa
tentram jiwanya. Kedua agama yang pada hakekatnya bertentangan itu tela
dipersatukan menjadi satu agama dengan nama “SYIWA BUDDHA”. Hal mana hanya
terdapat di Indonesia saja.
Mengenai hal ini Dr. Soetjipto Wirjosoeparto menerangkan
antara lain sebabi berikut :
Syiwa Buddha yang ada hanya di Indonesia, dan dianggap
sebagai agama resmi oleh Raja Kertanegara dari Singosari pada akhir abad ke
XIII. Apabila di India agama Syiwa dan agama Buddha saling bertentangan, maka
demikian itu berdasarkan toleransi bangsa Indonesia dua agama itu dipersatukan
menjadi satu agama yang baru disebut Syiwa Buddha. Bhineka Tunggal Eka dengan
mengambil dewa besar Syiwa dan Buddha hingga menjadi dua aspek dari Tuhan
semesta alam. Maka kedudukan dewa besar ini yang sama diketemukan dalam rumusan
“Bhinneka Tungga Eka” yang sesungguhnya merupakan perumusan yang diketemukan dalam
kitab kuno “SUTASOMA”.
Meskipun rakyat sudah memeluk agama baru (Syiwa Buddha)
sebagai hasil dari gabuingan antara agama Hindu dan Buddha, namun rakyat masih
merasakan kepincangan di dalam kehidupan mereka setiap harinya. Oleh karena itu
lama kelamaan di kalangan rakyat mulai timbul kegelisahan dan sara ketidak
puasan terhadap keadaan yang ada.
Di dalam jiwanya telah menyala api pemberontakan jiwa yang
selama ini ditekan akhirnya mulai sadar kembali. Manusia menurut persamaan hak
sebagaimana layaknya, mereka tidak mau dibeda-bedakan antar golongan bangsawan
dengan golongan orang kebanyakan.
Jiwa revolusioner ini ingin mencari suatu pegangan hidup
yang selaras dengan martabat manusia di mana di dalamnya tidak ada diskriminasi
ataupun penghisapan bagi goilongan yang satu terhadap golongan yang lain
(exploitation of men by men).
Agama yang universal, agama yang menjunjung dasar-dasar
kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Agama yang mengajarkan persamaan
(equality) dan persaudaraa (fratemity) diantara sesama manusia, itulah yang
mereka cari. Akhirnya jiwa yang menggelora inipun tertampung pula. Akibat dari
adanya hubungan dagang antara bangsa kita dengan dunia luar, maka hal inilah
yang membuka kemungkinan datangnya para saudagar dan pedagang-pedagang Islam ke
Indonesia, yang disamping berdagang juga menyiarkan agama Islam.
Maka bangsa kita mulai menganl ajaran baru yang sesuai
dengan panggilan jiwanya. Agama yang tiada lagi membedakan antar golongan
bangsawann dan rakyat jelata atau biasa. Karena dalam pandangan Islam, semuanya
itu adalah sama-sama hamba Allah. Yang dipandang lebih diantara keduanya
hanyalah karena taqwanya kepada Tuhan semata. Kedatangan saudagar-sudagar Islam
ke Indonesia, akhirnya tidak hanya terbatas dalam perihal perdagangan saja,
melainkan disamping berdagang juga menyiarkan agama Islam, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Merekapun mengobati jiwanya yang selama ini sakit. Seakan
jiwanya tertekan, adapun pengobatan therapie satu-satunya ialah kembalilah kita
menyembah Tuhan. Hanya Tuhanlah tempat kita kembali. Tuhan itu Maha Esa, lagi
Maha Kuasa. Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi. Tidak ada
kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat menyamaiNya. Disamping Maha Kuasa.
Tuhanpun mempunyai sifat Rahman dan Rahim, Maha Pengasih lagi Penyayang. Tuhan
itu kekuasaanNya meliputi seluruh alam semesta. Demikkianlah ajaran dari agama
baru yang dibawa oleh para Wali ketika itu AGAMA ISLAM.
Dan agama Islam ini disiarkan dengan jalan damai, Rakyat di
tanah Jawa yang tidak kurang 700 tahun lamanya hidup sebagai orang Syudra yang
dianggap hina dina, maka dengan kedatangan agama Islam, mereka senang sekali,
sebab merasa mendapat pertolongan dari Tuhan Seru sekalian alam, dilepaskan
dari belenggu penderitaan lahir dan batin dalam hidup sebagai orang Syudra.
Agama yang baru ini disambut dengan hangat oleh rakyat jelata. Dalam waktu yang
amat singkat, berbondong-bondonglah rakyat memeluk agama Islam.
Sesudah perkembangan agama islam meluas di kalangan rakyat,
dimana daerah pengaruh Islam pun telah luas pula. Maka untuk lebih melancarkan
tersiarnya agama Islam ini, akhirnya di sekitar tanah Jawa didirikan beberapa
pos penyiaran agama Islam. Misalnya di sekitar Jawa Timur kemudian didirikannya
pos penyiaran agama Islam oleh SUNAN AMPEL, sementara di Jawa Tengah sebelah
Selatan dipelopori oleh SUNAN KALIJAGA, adapun di Jawa tengah sebelah Utara
antara lain dipimpin oleh SUNAN KUDUS dan SUNAN MURIA. Sedangkan di Jawa Barat
pos penyiaran Islam dipelopori oleh SUNAN GUNUNG JATI, yang mula-mula menyiarkan
agama Islam di daerah Banten, kemudian meluas hingga ke daerah-daerah lainnya
seperti Sunda kelapa dan Cirebon.
Pada suatu hari diadakanlah permusyawaratan para Wali,
dimana diputuskan untuk mengutus Sunan Kalijaga bersama Raden Patah untuk
menghadap kepada Prabu Brawijaya V, guna meminta izin untuk meng-Islamkan
rakyat Majapahit, disamping itu juga meminta supaya Sang Prabu bersedia
mencabut kembali surat tanda takluk (menyerah) kepada Girindra Warhdana, serta
berkanan pula mengangkat Raden Patah menjadi Sultan di Bintoro Demak. Kemudian
usul tersebut yang dibawa oleh Sunan Kalijaga dari pihak Islam ini ternyata
tidak dapat dipenuhi, disebabkan oleh karena Prabu Brawijaya V sudah terlanjur
menyatakan menyerah kepada Girindra Warhadana dari keling.
Bahkan Girindra Wardhana mengirim pula sepucuk surat kepada
Brawijaya yang isinya meminta supaya Sang Prabu mengangkat senjata untuk
melawan orang Islam. Padahal Brawijaya telah memberikan izin kepada para wali
untuk menyiarkan serta mengajarkan agama Islam kepada rakyat di Majapahit.
Maka, terpaksalah ummat Islam yang berpusat di Demak menyusun kekuatan,
kemudian mengangkat senjata untuk menjawab tantangan yang diberikan oleh
Girindra wardhana serta guna mempertahankan perstige (kehormatan) ummat Islam.
Sementara itu Prabu Brawijaya V pun dengan cara diam-diam melarikan diri
meninggalkan kraton, pergi menyingkir ke lereng Gunung Lawu.
Peperangan terjadilah antara tentara Majapahit dengan
pasukan Demak. Akan tetapi sebenarnya jatuhnya kerajaan Majapahit bukanlah akibat
serangan dari Demak, melainkan disebabkan antar lain oleh keretakan dari dalam
sendiri. Seperti banyak daerah-daerah yang dahulu dibawah kekuasaan Majapahit
memisahkan diri, karena rakyatnya makin lama makin hidup sengsara.
Kemudian semakin pula rakyatnya yang memeluk agama Islam.
Dalam keadaan yang demikian ini, kerajaan Majapahit yang pada zamannya Prabu
Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada terkenal dengan kejayaannya, kini
perlahan mulai surut. Di waktu itulah Majapahit digempur oleh Prabu Girindra
Wardhana. Dan semkain runtuhlah kerajaan Majapahit tersebut, kemudian diberi
tanda candra sengkala yang berbunyi SIRNA HILANG KERTANING BHUMI. Artinya Sirna
(0) Hilang (0) Kerta (4) dan Bhumi (1). Jadi sirna berati lenyap, hilang
berarti hilang, kertaning bararti kenikmatan atau kejayaan, dan bhumi berarti
negara. Jadi menurut bunyi candra sengkala ini kerajaan Majapahot jatuhnya pada
tahun Saka 1400 atau tahun 1478 M.
Timbul pula sekarang pertanyaan, apakah yang menyebabkan
Majapahit runtuh? Baiklah disini kita ketahui sebab-sebab, mengapa Majapahit
menjadi lemah kemudian runtuh. Adapun mula-mula yang menyebabkan Majapahit
mejadi lemah sehingga keruntuhannya antara lain disebabkan oleh:
- Perang saudara antara Wikramawardhana dan Wirabumi yang terus menerus.
- Pusat Pemerintahan menjadi kurang kuat, karena didalamnya banyak yang ingin memberontak semenjak sepeninggalannya Prabu Hayam wuruk dan Patih Gajah Mada.
- Agama Islam mulai berkembang dengan pesat hingga menyebar di seluruh wilayah kekuasaan Majapahit kala itu hingga kini seluruh Indonesia.
- Perdagangan dengan Malaka terputus, karena Malaka makin maju dan menjadi pusat perdagangan.
- Agama Islam telah masuk lebih dahulu dalam kerajaan Majapahit.
- Pegawai-pegawai yang masuk Islam selalu berselisih dengan orang yang masih beragama lama. Dan akhirnya serangan dari Girindra Wardhana dari keling.
Adapun diantara raja-raja Majapahit yang bergelar Brawijaya
ialah:
- Prabu Kartawijaya Brawijaya I (1447-1451 M)
- Prabu Rajasawardana Brawijaya II (1451-1453 M)
- -Tahun (1453-1456) tidak ada pengangkatan untuk posisi raja mengalami kekosongan
- Prabu hyang Purwawisesa Brawijaya III (1456-1466 M)
- Prabu Pandansalas Brawijaya IV (1466-1468 M)
- Prabu Kertabumi Brawijaya V (1468-1478 M)
- Prabu Girindra wardhana Brawijaya VI (1478-1498 M)
- Prabu Udara Brawijaya VII (1498-1518 M)
Sebagaimana diketahui, Brawijaya V adalah ayahnya Raden
Patah, Sultan di Bintoro Demak. Dengan demikian tidaklah benar, bahwa dalam hal
ini Raden Patah perang melawan ayahnya sendiri. Sebab seperti yang telah kita
kemukakan di atas, Raden Patah mengangkat senjata untuk melawan Majapahit bukan
melawan Brawijaya V, akan tetapi Prabu Girindra Wardhana yang bergelar
Brawijaya VI. Hal mana semata-mata Raden Patah mempertahankan kehormatan agama
Islam. Ketika itu kekuasaan Majapahit sudah beralih dari tangan Brawijaya V
kepada Brawijaya VI, kemudian berganti kepada Prabu Udara Brawijaya VII.
Dari keterangan di atas dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa peperangan yang dilakukan oleh Demak itu hanya untuk mempertahankan diri yang sifatnya defensiF dan bukan agresif.
0 Response to "6 Fakta Runtuhnya Kerajaan Majapahit"
Posting Komentar
Selamat datang dan Semoga bermanfaat !!!